Sabtu, 19 September 2015

Masa Kecilku Dan Burung Jalak Uren

Ketika aku masih duduk dikelas 2 Sekolah Dasar, aku mempunyai hobi yaitu memelihara burung kicauan. Yang aku pelihara cuma burung-burung yang harganya murah seperti burung emprit, kutilang, cucak kampung, dan sebagainya.

Pada suatu hari ketika aku pulang dari sekolah, aku berjalan kaki tidak lewat seperti jalan yang biasa aku lalui (lewat jalan lain).

Dipojok dekat pertigaan jalan, aku dengar suara burung yang keras dan merdu mendayu-dayu. Dengan spontan aku hentikan langkahku untuk menatap sang burung dan mendengarkan kicauan yang begitu keras.

Setelah beberapa waktu muncul seorang bapak dari pintu rumah itu seraya berkata, “Kamu suka burung, ya dik.?”

Aku terdiam, dan cuma aku anggukan kepalaku kepada bapak itu untuk menjawab pertanyaannya.

Karena dalam hati aku mempunyai keinginan yang kuat untuk memiliki burung itu, maka aku kumpulkan keberanian untuk bertanya kepada bapak itu.

“Itu namanya burung apa, pak.?” tanyaku kepada bapak itu. “Jalak Uren, dik.!” jawab bapak itu seraya mendekat ke arahku.

Dengan segenap keberanianku kemudian aku bertanya lagi padanya, “Burung jalak urennya ini dijual, ndak pak.?”

Singkat kata, bapak pemilik burung jalak uren itu menerangkan bahwa burungnya tersebut dijual sekalian sangkarnya dengan harga Rp.15.000, dan kalau berminat orang tuaku disuruh ke tempat bapak itu untuk membelinya.

Dalam perjalanan pulang aku berpikir keras bagaimana aku mendapatkan burung jalan uren bapak itu, soalnya jelas jika aku meminta kepada orang tuaku tidak bakalan dikasih.

Aku gunakan ilmu matematika yang aku pelajari disekolah untuk menghitungnya. Uang jajanku Rp. 100 sedangkan harga burungnya Rp.15.000, maka jika aku kumpulkan uang jajanku, maka dibutuhkan waktu 5 bulan lebih aku bisa mendapatkan burung itu.

Ketika baru semingguan aku kumpulkan uang jajanku, aku teringat bilamana aku main ke rumah kakek pulangnya aku selalu diberi uang yang rata-rata Rp.500 terkadang lebih sedikit.

Demi burung jalak uren, aku rela tiap pulang sekolah naik sepeda onthel main ke rumahnya kakek. Disana aku bantu-bantu bersih rumah atau apa saja yang kiranya hati kakekku senang biar diberi uang bila aku pulang.

Kira-kira sudah mencapai waktu sekitar 4 minggu dalam mencari rupiah, tidak dinyana dan tidak disangka yaitu ketika aku pulang dari rumah kakek dalam perjalanan aku menemukan uang Rp. 100 dijalan raya. Penemuan uang itu membuatku menemukan sebuah ide yaitu menyisir seluruh lorong-lorong jalan dikota kecilku.

Kalau tidak bermain dirumah kakek, kaki kecilku aku kayuhkan ke sepeda onthelku untuk mencari uang receh yang tergeletak dijalan.

Pernah ada kejadian uang receh yang tergeletak dijalan menempel erat pada aspal dijalan. Aku congkel-congkel tapi tidak bisa, padahal disitu banyak dilalui bis dan truk. Lalu seorang bapak menolongku untuk mengambilkannya. Mungkin bapak itu merasa kasihan padaku, entahlah.

Ternyata kalau jeli, dijalan-jalan beraspal yang banyak dilalui lalu lalang kendaraan ada sedikit uang receh tergeletak dijalan. Pernah suatu hari aku mendapat Rp.600. Terkadang satu hari cuma mendapat Rp.100 terkadang juga blong yaitu cuma dapat tangan kosong.

Genap 2 bulan perjuanganku dalam mencari rupiah, ternyata uang yang sudah aku kumpulkan berjumlah Rp.15.100.

Pada hari minggu pagi dengan membawa uang Rp.15.000 dan dengan semangat membara aku pergi sendiri ke rumah bapak pemilik burung jalak uren itu untuk meminang burungnya. Setelah sampai dan berbincang-bincang, ketika tiba waktunya untuk membayar uang, huh ternyata uangku hilang (mungkin jatuh dijalan).

Bagaimanakah perasaan anda apabila menjadi aku waktu hari minggu dirumah bapak pemilik burung jalan uren itu..?!

1 komentar: